Sumeleh

Just another WordPress.com weblog

Bias Gender dalam Bahasa Majalah Remaja Februari 2, 2009

Filed under: Kajian — naniklipi @ 7:35 am
Tags:

 

Abstract

 

In this paper the differences in youth languages will be discussed qualitatively. Males youth is distinct from females youth by the variation in their language. Language is a cultural construction and culture gives the language its form. Language cannot be separated from the heterogeneous society that use the language. The variation in language can be influenced by factors, such as social condition and situation. The aim of this work is to describe the youth language influenced by gender. The data used for the work have been collected from two youth magazines, “Hai” and “Kawanku”, using observation method (metode simak) and its advanced techniques, taking notes (teknik catat). The language found in the “Hai” magazine can be said to represent the variation used mainly by males, while in “Kawanku” by females. The collected data are classified and analyzed applying a method called “padan pragmatis”. The theory of sociolinguistics is used to describe the manifestation or the language bias used by the two studied youth groups. The result of research shows that there are gender-biased terms in youth languages can be reflected into some levels, i.e. topics, lexicon, gender stereotype, politeness, and the formal language used.

 

Keywords: language variation, gender bias, sociolinguistics, youth languages

 

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Melalui bahasa, remaja laki-laki dapat dibedakan dengan remaja perempuan. Penelitian ini akan mengkaji penggunaan bahasa dalam majalah remaja sebagai bentuk variasi bahasa berdasarkan jenis kelamin. Budiman berpendapat, bahasa sebagai media primer di dalam komunikasi, tidak bisa dituntut untuk bersih dari bias gender (2000: 14).

Kajian ini menarik karena masih jarang literatur yang secara komprihensif dan tuntas membahas hubungan bahasa jurnalistik dan gender. Bahasa dan gender merupakan bidang penelitian yang menarik dan mengalami perkembangan yang fenomenal dalam dasawarsa terakhir, bahkan Graddol (2003: 4) berpendapat, bahasa dan gender memiliki daya tarik akademis dan popular. Daya tariknya tidak hanya menjanjikan kemajuan teori linguistik dan sosial, tetapi juga memberikan kritik sosial dan merupakan suatu program aksi politis yang bertujuan mengelimir ketidaksetaraan jenis kelamin.

Menurut Sumarsono (2002: 113), keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat mengharapkan pola tingkah laku yang berbeda. Jadi, ragam pria-wanita itu akibat dari perpedaan sikap sosial terhadap tingkah laku pria dan wanita, dan dari sikap yang dimiliki pria dan wanita itu sendiri terhadap bahasa sebagai lembaga sosial (Sumarsono, 2002: 123). Perbedaan perilaku berbahasa antara jenis kelamin yang berbeda merupakan efek samping dari pengalaman sosial laki-laki dan perempuan yang secara sistematis berbeda.

Baik bahasa maupun gender merupakan kontruksi kultural sebagaimana juga bisa kita katakan bahwa kultur pun merupakan bentukan bahasa (Awuy 2000: 234). Artinya, bias gender dapat tercermin dari penggunaan bahasa, atau penggunaan bahasa tertentu pun dapat menciptakan bias gender. Perbedaan bahasa merupakan suatu cerminan perbedaan sosial, dan selama masyarakat memandang laki-laki dan perempuan berbeda—dan tidak setara—maka perbedaan dalam bahasa laki-laki dan perempuan akan terus ada.

 

1.2 Rumusan Masalah

            Berdasarkan uraian latar belakang tersebut permasalahan dalam karya tulis ini adalah bagaimana perbedaan penggunaan bahasa remaja yang dilatarbelakangi oleh faktor jenis kelamin, serta bagaimana manifestasi atau bentuk bias gender pada penggunaan bahasa dalam majalah remaja?

 

1.3 Metode Penelitian

            Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif. Data didapat dari media yang memiliki segmen pasar remaja, yaitu majalah Hai (H) untuk mewakili remaja pria dan Kawanku (K) untuk menggambarkan penggunaan bahasa remaja wanita. Majalah Hai merupakan satu-satunya majalah remaja laki-laki di Indonesia yang eksis sejak tahun 1977 (Juliastuti, 2000: 6). Adapun Kawanku secara tegas menyebut sebagai majalah remaja wanita sebagaimana slogan di sampul setiap edisinya, yaitu Kawanku majalah cewek active & smart (yang kemudian berubah menjadi unbeatable fun girl) dan mottonya yang berbunyi paling tahu yang cewek mau. Majalah yang diteliti terbit pada periode 2003–2004. Tidak semua majalah periode itu diteliti, tetapi dipilih secara acak sesuai kebutuhan penelitian, yaitu dipilih edisi yang dipandang cukup mewakili dan banyak mengandung data yang dibutuhkan penelitian. Pengumpulan atau penyediaan data untuk karya tulis ini dilakukan dengan metode simak, dan teknik lanjutannya adalah teknik catat.

Dalam mendeskripsikan bias gender bahasa remaja, tidak semua kalimat diteliti. Karena penelitian ini tentang bahasa yang didiskreditkan oleh latar sosial budaya masyarakat penuturnya, lingkup analisis akan difokuskan pada bentuk-bentuk satuan lingual bahasa dalam majalah Hai dan Kawanku yang diasumsikan bias gender.

Data yang terkumpul dipilih lalu diklasifikasikan dan selanjutnya dilakukan analisis data dengan metode padan, yaitu dengan cara membandingkan atau memadankan masalah yang diteliti dengan alat penentu atau pengujinya. Digunakan metode padan pragmatis untuk mengetahui bias gender dalam majalah remaja. Menurut Sudaryanto (1993: 15), alat penentu metode padan pragmatis adalah mitra wicara. Pada penelitian ini, yang dimaksud mitra wicara adalah pembaca majalah, baik remaja pria maupun remaja wanita. Langkah analisisnya adalah memadankan atau membandingkan penggunaan bahasa ragam informal dalam majalah Hai dan majalah Kawanku. Penggunaan bahasa dalam kedua majalah remaja tersebut kemudian juga dipadankan dengan pendapat atau asumsi pembaca (mitra wicara), serta dengan latar sosial budaya mitra wicara.

 

1.4 Kerangka Teori

Kerangka teori sosiolinguistik digunakan untuk mengkaji faktor sosial dan situasional penggunaan bahasa remaja yang dipengaruhi jenis kelamin serta mendeskripsikan bagaimana bias gender tercermin atau termanifestasikan dalam penggunaan bahasa oleh remaja. Menurut Chaer (1995: 5), sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur. Boleh juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial) (Nababan, 1986:2). Studi sosiolinguistik yang berkaitan dengan kajian bias gender bahasa ini adalah variasi bahasa, khususnya variasi bahasa yanng disebabkan oleh variasi sosial. Setiap kelompok umur, juga setiap kelompok jenis kelamin tertentu memiliki kekhasan dalam pemakaian bahasa.

Penggunan variasi tertentu ditentukan faktor linguistik maupun nonlinguistik. Dell Hymes (via Chaer, 1995: 62) menyebutkan delapan faktor-faktor nonlinguistik yang mempengaruhi pemakaian bahasa oleh seseorang itu dengan sebuah akronim SPEAKING. Delapan komponen  tutur itu adalah setting and scene, setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedanngkan scene mengacu pada waktu dan situasi psikologis pertuturan. Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa tutur, baik penutur, lawan tutur, maupun pendengar. Ends, berhubungan dengan maksud dan tujuan apa yang ingin dicapai dalam pertuturan itu. Act sequence, berkaitan urutan bentuk ujaran dan isi ujaran yang berkenaan dengan peristiwa di mana seseorang sedang mempergunakan kesempatan berbicaranya. Key, mengacu pada manner, nada, cara, dan ragam bahasa yang digunakan. Instrumentalities, berkaitan dengan jalur bahasa yang dipergunakan, seperti lisan, tulis, telepon, dan sebagainya. Norm of Interaction and Interpretation, yakni norma atau aturan dalam berinteraksi. Genre, menyangkut jenis bentuk penyampaian, seperti puisi, pepatah, pidato, dan sebagainya.

Gender adalah konstruksi sosial yang membedakan peran dan kedudukan wanita dan pria (Astuti, 1999: 3). Istilah gender berbeda dengan jenis kelamin. Menurut Fakih (2001: 7), jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (misalnya ada ciri-ciri biologis tertentu), sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Menurut Budiwati (2003: 17), bias gender adalah ketidakadilan atau “ketimpangan” perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin. Anggapan yang lebih pada salah satu jenis kelamin tertentu dan merugikan pada jenis kelamin lainnya, adalah contoh perlakuan yang bias gender.

Setidaknya ada tiga pandangan terhadap hubungan antara bahasa dan gender. Dirangkum dari pendapat Graddol (2003: 12–13) adalah, pertama, ada pandangan bahwa bahasa hanyalah mencerminkan pembagian sosial dan ketidaksetaraan. Kedua, posisi pembagian dan ketidaksetaraan itu sebenarnya tercipta melalui perilaku linguistik yang seksis; dan ketiga, pandangan yang mengemukakan bahwa kedua proses tersebut berjalan dan saling berpengaruh.

Hipotesis yang selama ini dianut secara universal menyatakan bahwa “wanita lebih sopan daripada lelaki berbahasa” (Sachiko via Ohoiwutun, 2002: 89). Dalam bahasa Inggris, karya Labov (1972), Trudgill (1972), dan sebagainya membuktikan secara empiris bahwa wanita lebih banyak menggunakan ragam bahasa sopan (Ohoiwutun, 2002: 89).  Lebih jauh ia berpendapat bahwa kata, bunyi, dan tata kalimat pada “bahasa” kaum wanita memberi sumbangan cukup besar dalam membangun gaya berkomunikasi yang lebih sopan. Perempuan menggunakan sebuah gaya bertutur yang ditandai oleh ciri-ciri yang menunjukkan keraguan, kesementaraan, dan kesopanan (Lakoff via Graddol, 2003: 145).

            Menurut Abbot (via Swastika, 2002: 19), bahwa pada banyak kasus laki-laki dianggap lebih tertarik untuk berbicara tentang hal-hal yang bersifat eksternal seperti politik, olahraga, atau masalah pekerjaan. Masih menurutnya, mereka juga dianggap berbicara dengan suara yang lebih keras, dengan nada lebih agresif, pernyataan-pernyataan lebih kuat, dan meyakinkan pendengarnya. Sementara perempuan dianggap lebih sering berbicara tentang perasaannya atau juga gosip tentang orang-orang lain, dengan kata-kata yang lebih sopan, atau nada yang pelan (lemah lembut).

Stereotipe tuturan perempuan dan laki-laki mencerminkan kesan umum mengenai bahasa perempuan dan laki-laki, yang muncul melalui peribahasa, lelucon, jurnalisme, sastra dan bahkan melalui para ahli bahasa yang serius (Graddol, 2003: 2). Karena steriotipe yang dipasangkan cenderung meremehkan dan menstigmatisasi (menganggap rendah) jenis kelamin tertentu, berakibat jenis kelamin tertentu dianggap lebih mendominasi dan berkuasa daripada jenis kelamin yang lain. Kenyataan bahwa peran sosial laki-laki dan perempuan tidak memiliki nilai yang sama dalam kebudayaan kita juga berbanding paralel dalam bahasa (Graddol, 2003: 176).

 

II. BIAS GENDER DALAM BAHASA MAJALAH REMAJA

Dalam membahas kemungkinan “bias” dalam struktur sebuah bahasa, dapat dikategorikan antara sistem abstrak sebuah bahasa (termasuk leksikon) dan pemakaian bahasa—apa yang sebenarnya ditulis dan dituturkan orang (Graddol, 2003: 154). Fenomena bias gender ini tentu saja juga terkait dengan kebijakan keredaksiaan media dalam menyesuaikan bentuk tulisannya dengan karakter pembacanya. Berikut ini bentuk-bentuk bias gender dalam penggunaan bahasa media remaja.

 

2.1 Topikalisasi

Topik atau rubrikasi media dibuat dengan memperhatikan siapa pembacanya. Media umumnya mempunyai pengkhususan segmen untuk membidik pasar yang lebih spesifik, karena itu karakter media harus disesuaikan dengan selera dan kecenderungan pembacanya.

Analisis SPEAKING sebagaimana teori Dell Hymes, menunjukkan setting atau tempat pertuturan adalah majalah remaja. Adapun participants atau peserta tuturnya adalah penulis (bisa laki-laki atau perempuan, bisa remaja atau dewasa), dan pembaca remaja perempuan untuk Kawanku serta pembaca laki-laki untuk Hai. Act sequence yang berkaitan dengan isi ujaran tampak pada topikalisasi kedua majalah remaja ini yang berbeda dan mencerminkan bias gender.

Hai dan Kawanku sebagai majalah remaja, sama-sama berisi hal-hal yang berkaitan dengan masalah dan kegiatan remaja. Akan tetapi, topikalisasi keduanya cenderung berbeda karena disesuaikan segmen pembacanya. Persamaan keduanya, misalnya, sama-sama dipenuhi topik yang dekat dengan dunia remaja, seperti topik idola remaja yang biasanya dicitrakan selebritis cantik atau tampan, serta topik hiburan (musik dan film). Meskipun keduanya selalu membahas topik musik dan film, tetapi Hai memberi porsi topik film dan musik yang lebih banyak daripada Kawanku. Topik dalam majalah Kawanku didominasi oleh rubrik fashion atau kecantikan, sedangkan Hai lebih terbuka untuk rubrik seksiologi dan drugs. Masalah perasaan, percintaan juga memperoleh porsi lebih besar dalam Kawanku, sedangkan Hai lebih banyak memberi ruang untuk hal-hal yang terkait rasionalitas, olahraga (fisik), dan otomotif.

Ketika membahas tema yang sama, titik berat pembahasan dan cara pandang dalam memaparkan tulisan yang digunakan kedua majalah remaja ini juga berbeda. Hai biasanya akan bersifat lebih argumentatif, memberikan pilihan, dan selalu mengutamakan atau menekankan fakta (bukan gosip) serta rasionalitas karena segmen pembaca Hai adalah remaja pria yang oleh sistem sosial budaya dicitrakan lebih pintar, rasionalitasnya lebih berjalan, dan lebih ingin tahu, sedangkan Kawanku lebih cenderung berifat seolah-olah menasihati serta mengutamakan sisi perasaan. Hai tidak akan membahas cara berdandan dan fashion serinci Kawanku membahas. Berbeda dengan Kawanku, menurut Hai cowok yang suka dandan justru dianggap lelucon dan dianggap ganjen (genit) sebagaimana contoh (1). Wanita berdandan memang seharusnya, tetapi lelaki suka dandan dianggap tidak semestinya atau tidak lazim oleh sistem sosial budaya, demikian pula tercermin dalam Hai sebagaimana contoh (2) berikut.

(1) Kocaknya, dua cowok kembar ini modis abis. (H/20/XXVII: 18)

(2) Pengen punya kuku sehat, nggak harus manicure kayak cewek-cewek gitu. (H/29/XXVII: 36)

 

2.2 Bias Gender dari Segi Leksikon

Graddol (2003: 153) berpendapat, kebanyakan pernyataan mengenai ‘bias linguistik’ semacam ini berkenaan dengan leksikon sebuah bahasa—persediaan kata, bentuk dan makna kata yang tersedia bagi para penuturnya. Bias dari segi leksikon ini setidaknya menurut Graddol (2003: 156), ada dua contoh, yaitu kodifikasi linguistik kata-kata untuk perempuan dan adanya kesenjangan leksikal—atau tidak adanya kata-kata yang merujuk pada pengalaman perempuan.

 

2.2.1 Leksikon Khas Jenis Kelamin Tertentu

Leksikon (kosakata) tertentu dapat dianggap sebagai leksikon khas cewek atau leksikon khas cowok. Dengan kata lain dapat dikategorikan dalam leksikon feminim atau leksikon maskulin. Sasaran tulisan akan menentukan ragam bahasa, juga kata-kata yang digunakan. Tulisan yang ditujukan untuk remaja perempuan tentu saja mengandung kata-kata yang terkait sifat dan masalah remaja perempuan, selanjutnya disebut leksikon khas cewek. Dalam Kawanku banyak digunakan kata-kata berkisar pada aktivitas wanita, kecantikan (wajah, rambut, kulit, perawatan tubuh, kosmetik dan segenap derivasinya), fashion, kebugaran tubuh, konsultasi kewanitaan, memasak, dan sejenisnya.

Verba berdandan, manicure, memasak, menangis, menjerit; nomina kosmetik, make up, aksesoris; adjektif cengeng, manja, penakut, wangi adalah contoh leksikon yang lazim dipasangkan pada subjek atau objek wanita. Adapun verba merokok, nembak (menyatakan cinta), melamar, berkelahi; nomina rokok, otomotif, sepak bola; adjektif macho, maskulin, pemberani, bertanggung jawab, mandiri merupakan leksikon yang umumnya disejajarkan dengan subjek atau objek pria. Kesenjangan leksikal berupa tidak adanya kata-kata yang merujuk pada pengalaman jenis kelamin tertentu, juga merupakan cerminan bias gender dari segi leksikon. Misalnya, mengapa pembahasan kejejakaan/keperjakaan tidak sepenting keperawanan/kegadisan, atau mengapa ada kata ilmuwan tetapi tidak ada kata ilmuwati, serta ada tenaga kerja wanita (TKW) tetapi tidak ada *tenaga kerja pria (TKP). Laki-laki umumnya aktif sehingga identik dengan verba aktif menikahi, memperkosa, memperawani, melayani, mengencani, memacari, mengapeli. Akan tetapi, perempuan dicitrakan pasif sehingga yang lazim adalah dinikahi, diperkosa, diperawani, dilayani,  dikencani, dipacari, diapeli.

           

2.2.2 Leksikon yang Mengacu  Sifat Jenis Kelamin Tertentu 

Ada sejumlah kata dan frase yang cenderung terkait dengan sifat jenis kelamin tertentu. Menurut Astuti (1999: 5), sifat feminin adalah sifat kewanitaan seperti merasa iba, selalu ingin menolong orang lain, dan suka memelihara. Sifat maskulin adalah sifat kejantanan, sikap dominan, agresif, asertif, independen, dan bertanggung jawab. Lebih jauh ia mengatakan, setiap individu akan mempunyai sifat maskulin dan feminin namun mana di antara kedua sifat tersebut yang menonjol akan berpengaruh terhadap peran gender individu tersebut. Dengan demikian, wanita tidak selalu mempunyai sifat feminin yang menonjol dan pria tidak selalu dengan sifat maskulin yang lebih dominan. Akan tetapi, majalah remaja dalam tulisan-tulisannya sudah memiliki kerangka berpikir bahwa remaja perempuan itu seharusnya selalu bersifat feminin dan remaja pria bersifat maskulin.

Leksikon cewek banget, girlie (atau girly), feminin atau satuan lingual yang mengacu atau menggambarkan sifat-sifat perempuan. Cewek banget  berarti ‘sangat  seperti sifat atau karakter khas cewek’, girlie bermakna ‘bentuk atau sifat yang disukai girl atau cewek’. Feminin adalah sifat yang sewajarnya dimiliki oleh seorang perempuan, dan salah satu ukuran “dangkal” dari feminin adalah berambut panjang, memakai rok, lemah-lembut, anggun, dan sejenisnya, sebagaimana contoh (3).

(3) Kesan pertama pas bertemu, tampak feminin abis. Asti tampak feminin dengan baju atasan warna pink dan rok jins panjang” (K/37/XXXII: 54).

 

Satuan lingual cowok banget, lebih cowok, macho, maskulin digunakan untuk menggambarkan sifat dan karakter khas cowok. Dalam contoh (4), yang disebut cowok banget ‘sangat seperti sifat/karakter yang dimiliki cowok’ adalah sifat badung, kurang ajar, seenaknya sendiri, suka musik keras rock, dan lain-lain.

(4) Karakternya cowok banget, badung, seenaknya sendiri, dan doyan musik rock. Sekarang mereka makin ‘kurang ajar’. (K/43/XXXII: 77)

 

Warna-warna tertentu pun dianggap mewakili sifat atau karakter wanita sehingga warna-warna tertentu dinggap pantas digunakan wanita karena kesannya feminin. Warna ungu dan pink (merah muda), misalnya, adalah warna-warna yang dikatakan cewek banget, girlie, girly.

 

2.2.3 Kata Sapaan atau Sebutan untuk Pembaca

Kata sapaan untuk pembaca yang berbeda antara Hai dan Kawanku, terkait dengan faktor participants atau peserta turur, yakni lawan tutur (pembaca). Hai menggunakan sebutan orang kedua man, jack, dab, coy, guys, broer yang mengacu pada pembaca berjenis kelamin laki-laki. Sementara Kawanku menggunakan kata ganti orang kedua girls, gals, gurls, sazy, jo, teng untuk menyebut atau menyapa pembaca perempuan. Guys dan jo bisa digunakan untuk sapaan remaja pria maupun remaja perempuan karena ditemukan di kedua majalah remaja tersebut.

 

2.2.4 Penggunaan Hiks

Masyarakat mengganggap perempuan lebih sering menangis dan suka menjerit, sedangkan laki-laki cenderung suka mengumpat. Kawanku menggunakan satuan lingual hiks dan ikon/simbol gambar (misalnya ☺) di akhir tuturan untuk menonjolkan sisi perasaan dan sifat ekspresif wanita. Satuan lingual hiks tersebut merupakan onomatope atau peniruan bunyi/suara perempuan menangis. Hiks sangat banyak ditemukan dalam majalah Kawanku, sebaliknya tidak ditemukan dalam Hai. Fenomena itu disebabkan perempuan oleh budaya dianggap lazim menangis dan cengeng, tetapi laki-laki yang demikian akan dinilai lemah sehingga Hai seolah-olah “haram” menggunakannya. Menangis bagi remaja pria itu memalukan sebagimana dibenarkan Hai dalam contoh (5) berikut.

(5) Pernah nangis kejet-kejet gara-gara ditolak cewek? Busyet, malu-maluin aja elo! (H/06/XXVII: 12)

 

2.3 Kesopanan 

Jenis-jenis tuturan tertentu secara sosial dianggap cocok bagi jenis kelamin tertentu, sebaliknya dianggap kurang layak untuk jenis kelamin lainnya. Fenomena itu diperkuat oleh adanya tekanan-tekana sosial (social pressure), misalnya orang yang menggunakan ragam bahasa yang tidak tepat akan “dihadiahi” dengan “cemoohan”. Remaja pria lebih banyak menggunakan leksikon yang ditabukan dan umpatan dibanding remaja wanita. Hal ini sedikit banyak berkaitan dengan nilai sosial (social value) atau tata krama dan sopan santun yang terdapat pada masyarakat.

 

2.3.1 Leksikon yang Ditabukan

Ohouiwutun (2002: 94) berpendapat, tabu berasal dari kata taboo yang dipungut dari bahasa Tonga, salah satu bahasa dari rumpun bahasa Polinesia. Di masyarakat Tonga kata taboo merujuk pada tindakan yang dilarang atau dihindari sehingga bahasa atau kata-kata yang merupakan simbol dari tindakan itu pun dilarang. Majalah Hai lebih vulgar dan terus terang dalam membahas hal-hal yang dianggap tabu seperti contoh (6) berikut, sedangkan Kawanku sangat berhati-hati, tidak secara langsung dan terbuka seperti Hai.

 (6) Masalah penis lo yang jadi bengkok, sebenernya penis emang nggak ada yang lurus seratus persen kok. (H/43/XXVII: 36)

 

2.3.2 Penggunaan Umpatan 

Pria dianggap lebih pantas mengumpat daripada wanita. Buset, busyet, mampus aja loe, mampus aja lo, mampus, gila, gokil, sialan, dan kurang ajar adalah umpatan atau kata kasar yang banyak digunakan dalam Hai. Dalam Kawanku sangat jarang ditemukan umpatan, bahkan hampir tidak ada, sejauh ini hanya ditemukan satu penggunaan umpatan, yaitu kata gila. Itu pun digunakan bukan murni sebagai umpatan, tetapi lebih mendekati sebagai ungkapan kekagetan atau keheranan.

(8) Gila! Enggak nyangka Selandia punya band keren. (K/37/XXXII: 78)

Satuan lingual seperti  ya, ampun!, ampun, ampun deh, dan sejenisnya lebih lazim ditemukan dalam Kawanku. Ekspresi kekagetan, keheranan, kejengkelan remaja putri ketika emosinya meninggi bukan dengan umpatan sebagaimana remaja pria dalam Hai, melainkan dengan ya ampun.

 

2.4 Penggunaan Bentuk yang Lebih “Benar” 

Meskipun kedua majalah remaja tersebut sama-sama menggunakan bahasa ragam informal, yaitu bahasa gaul, tetapi ragam informal yang digunakan Kawanku dianggap lebih mendekati “benar” daripada yang digunakan Hai. Ragam informal dalam Hai lebih tidak taat asas dan terkesan lebih seenaknya. Fenomena ini sejalan dengan pendapat Harijatiwidjaja (1995: 70), bahwa kualitas bahasa jenis kelamin wanita lebih terpelihara daripada kualitas bahasa jenis kelamin pria. Misalnya, Hai menggunakan asik, sampe sedangkan Kawanku menggunakan asyik, sampai  sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Bahasa adalah pencerminan kenyataan sosial, maka dapat dijelaskan mengapa tuturan wanita bukan hanya berbeda dengan tuturan lelaki, melainkan juga lebih “benar”. Menurut Sumarsono (2002: 113), ini merupakan pencerminan kenyataan sosial, pada umunya dari pihak wanita diharapkan tingkah laku sosial yang lebih “benar”. Sistem budaya lebih menuntut wanita lebih sopan, lemah lembut, sedangkan lelaki lebih ditekankan bagaimana bertanggung jawab.

Agaknya masuk akal untuk diprediksikan bahwa kaum perempuan secara umum akan berbicara lebih formal dan lebih sopan, karena kaum perempuan secara kultural diposisikan pada status yang relatif sekunder terhadap laki-laki dan karena tingginya kadar kesopanan dimunculkan dari bawahan kepada atasan (Brown via Graddol, 2003: 145). Menurut Sumarsono (2002: 99), karena posisi seperti itu, wanita berusaha keras dengan segala cara untuk “meningkatkan” dirinya sederajat dengan laki-laki dan salah satu yang paling efektif ialah dengan memakai bahasa ragam baku sebaik-baiknya. Karena ragam baku ini mempunyai konotasi “terpelajar”, berstatus, berkualitas, kompeten, independen, dan kuat. Jadi, wanita menggunakan bentuk-bentuk yang dianggap “lebih baik” daripada yang digunakan pria, dengan salah satu alasan untuk meningkatkan nilai atau citra diri yang oleh sistem budaya sering diperlakukan tidak adil.

2.5 Steriotipe Gender

Bagaimana seharusnya seorang laki-laki dan seperti apa lazimnya seorang perempuan semakin dipertegas melalui penggunaan bahasa dalam kedua majalah remaja ini. Kerangka berpikir para penulis dalam kedua majalah itu—secara sengaja atau tidak—bias gender sehingga melestarikan atau justru menciptakan steriotipe gender yang melembaga dalam sistem sosial budaya. Swastika (2002: 19) berpendapat bahwa media massa turut melanggengkan stereotipe gender dalam relasinya dengan wacana bahasa di kalangan anak-anak muda.

Fakih (2001: 16) menyatakan bahwa stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Steriotipe ini dibentuk oleh sistem sosial budaya masyarakat, yang biasanya merugikan dan menimbulkan ketidakadilan, dan sering kali perempuan yang dirugikan. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (steriotipe) yang dilekatkan kepada mereka. Apabila wanita banyak omong biasanya dilabeli sifat negatif cerewet, sedangkan ketika pria banyak bicara akan dianggap pandai dan sebagai ungkapan berani berpendapat serta wujud ekspresi diri. Berikut ini stereotipe bias gender yang ditegaskan dalam media remaja. Kecenderungan perempuan menggunakan ciri-ciri linguistik yang lebih prestisius dibandingkan dengan laki-laki yang memilki latar belakang sosial yang sama, saat ini juga menjadi konsentrasi sejumlah penelitian yang dilakukan pada berbagai komunitas (terutama di Barat) (Graddol, 2003: 70).

 

2.5.1 Konsumtif

Dibanding remaja pria, remaja wanita dianggap konsumtif (suka berbelanja) sehingga kadang membelanjakan uang secara berlebih (boros) dan berbelanja barang-barang yang tidak benar-benar dibutuhkan, sebagaimana contoh berikut.

(9) Sudah deh, tahu kok kalau cewek-cewek kayak kita suka banget belanja! (K/09/XXXIII: 98)

 

2.5.2 Kebiasaan Rapi dan Berdandan

            Seperti suatu keharusan apabila remaja wanita harus rapi, bersih, dan wangi, jika tidak mereka akan dicap jorok. Sudah sewajarnya remaja putri suka berdandan, merawat diri, menyukai baju bagus, menyukai perhiasan dan aksesoris. Sebaliknya, jika remaja putra suka berdandan dan terlewat bersih akan dinilai yang tidak mengenakkan seperti diledek ganjen atau genit dan aneh.

(10) Gue sih sebelnya mereka dandan banget sampai bisa ngalahin cewek. (K/43/XXXII: 13)

 

2.5.3 Kebiasaan Menangis

Pemberani, tidak boleh cengeng, tidak boleh menangis, tidak boleh bersifat pengecut, adalah nilai-nilai dan kode-kode sifat kejantanan yang identik dengan laki-laki (Juliastuti, 2000: 7). Oleh karena itu, apabila remaja perempuan menangis wajar-wajar saja, sah-sah saja. Giliran remaja laki-laki yang menangis dianggap cengeng dan lemah, seberat apa pun masalah yang dihadapi. Baik Hai maupun Kawanku membenarkan” steriotipe tersebut seperti tampak pada contoh berikut ini.

(11) Pernah nangis kejet-kejet gara-gara ditolak cewek? Busyet, malu-maluin aja elo! Sesakit apa pun rasanya ditolak cewek, harga diri harus tetep dijaga, man. (H/6/XXVII: 12)

 

2.5.4 Kemandirian

Remaja pria umumnya dianggap memiliki sifat kuat, pemberani, lebih mandiri, dan bertanggung jawab. Adapun wanita dilabeli sifat negatif seperti penakut, lemah (lemah fisik atau tenaganya dibanding pria), manja, tidak mandiri, dan sering tergantung pada orang lain.

(12) Pia cs. sangggup menghadirkan kemandirian cewek lewat berbagai media. (H/4/XXVIII: 14)

Mengapa Kawanku menggunakan istilah kemandirian cewek sebagaimana contoh (12), tetapi jarang ditemukan istilah kemandirian cowok, menegaskan sistem budaya yang mengganggap pria memang lebih mandiri daripada wanita.

 

 

2.5.5 Pengambilan Keputusan

Lakoff (via Ohoiwutun, 2002: 89), menegaskan  bahwa ciri-ciri bahasa kaum wanita bersifat intuitif, penuh pertimbangan. Remaja wanita dianggap cenderung kurang berani (lambat) dalam mengambil keputusan, karena terlalu banyak pertimbangan, ragu-ragu, dan kurang percaya diri. Ketika wanita cepat mengambil kesimpulan dianggap atau dikhawatirkan sebagai kesimpulan yang tergesa-gesa, seperti ditegaskan contoh (13).

(13) Tapi tunggu girls, jangan langsung bikin kesimpulan seperti itu. (K/37/XXXII:56)

2.5.6 Kebiasaan Berbicara

Steriotipe yang dipasangkan senantiasa mengatakan bahwa wanita lebih banyak omong atau cerewet dibandingkan pria, wanita juga lebih suka menggosip dan bercerita (curhat), sedangkan pria lebih suka berbicara tentang fakta. Perempuan acapkali diprofilkan sebagai jenis kelamin yang ‘terlalu banyak bicara’ (Graddol, 2002: 108). Kamarae (via Graddol, 2002: 108), ‘gosip’ dan ‘banyak bicara’ kerapkali dikatakan sebagai ciri tuturan perempuan. Steriotipe ini tampak dalam penggunaan bahasa majalah remaja.

 

2.5.7 Perasaan dan Rasionalitas

            Kata ilmuwan ada, tetapi kata ilmuwati tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat mencerminkan bahwa dalam masyarakat tutur bahasa tersebut, laki-laki dianggap lebih banyak yang pintar. Laki-laki dianggap cenderung mengutamakan logika dan rasionalitas, sedangkan perempuan lebih menonjolkan perasaan. Hal ini juga tercermin dalam perbedaan rubrikasi dalam kedua majalah.

 

2.5.8 Sikap dalam Menghadapi Masalah

Dari kalimat-kalimat di Kawanku, tampak kecenderungan remaja wanita dalam memandang, menghadapi atau menyelesaikan masalah, yakni biasanya mudah panik, gugup, bingung, marah-marah atau merenggut, tidak tenang, dan mudah mengeluh, sedangkan remaja pria dianggap lebih tenang, cepat, dan cakap.

 

2.5.9 Dominasi Laki-Laki

            Meskipun steriotipe yang bias gender itu mulai bergeser, namun wanita masih sering dianggap menduduki posisi sekunder, sebaliknya pria banyak mendominasi dalam berbagai bidang kehidupan sehingga wanita dianggap tidak wajar terlalu agresif dan aktif. Oleh karena itu, dalam percintaan, remaja wanita pun (bagi beberapa pihak) masih dianggap tabu untuk memulai hubungan, seperti tampak pada contoh (14). Yang pantas nembak (menyatakan cinta), mengapeli, mengencani, memacari, melamar, menyetubuhi adalah remaja pria (aktif), sedangkan remaja perempuan (pasif) lebih pantas ditembak, diapeli, dipacari, dilamar, disetubuhi. Mereka akan diberi sanksi sosial berupa cemoohan oleh masyarakat jika tidak bersikap seperti steriotipe yang ada di masyarakat. Wanita yang dianggap terlalu agresif akan dinilai dengan sebutan miring “jalang”, sebaliknya pria yang tidak begitu agresif kadang dijuluki “banci”.

(14) Apalagi inisiatif untuk menjalin cinta itu masih ada di tangan cowok. (H/6/XXVII: 5)

 

2.6 Anggapan Rendah terhadap Perempuan

Gambaran perempuan dalam media belum menggembirakan, salah satunya karena dalam realitas sosial budaya memang masih terjadi stigmatisasi (anggapan rendah) pada kemampuan dan karakter perempuan. Media pada dasarnya adalah cerminan sistem sosial budaya sehingga ketika dalam kehidupan masyarakat masih terjadi bias gender, maka gambaran semacam itu pula yang akan termanifestasikan dalam media. Awuy (2000: 230), berpendapat bahwa dunia jurnalistik kita adalah representasi dari kultur patriaki.

 (15) Kalo ada yang bilang setan itu aslinya berwujud cewek cakep, kayaknya ada benernya deh. (H/20/XXVII: 17)

Contoh (15) di atas tampak seolah-olah merendahkan sifat perempuan. Pada banyak sistem sosial budaya, setan atau penggoda dilekatkan pada wanita cantik, bukan pria tampan. Memang dalam mitos budaya tradisional biasanya setan dan hantu kebanyakan berjenis kelamin perempuan, misalnya peri, Mak Lampir, Nyi Roro Kidul, Sundel Bolong, Si Manis Jembatan Ancol, Suster Ngesot. Selain itu, sifat-sifat jahat dan negatif juga menempel pada jenis kelamin wanita, seperti cewek simpanan, cewek  selingkuhan, cewek gatel, nenek sihir, ibu tiri, istri gelap, wanita tuna susila, wanita penggoda. Sebaliknya, jarang ditemukan cowok simpanan, cowok gatel, *kakek sihir, bapak tiri, suami gelap, *pria tuna susila, lelaki penggoda. Citra baik justru dipasangkan pada pria, maka timbul bapak angkat, bapak pembangunan, bapak koperasi, dan sebagainya.

Profesi dan kegiatan tertentu juga secara konvensional diasumsikan sebagai bidang yang didominasi oleh perempuan. Misalnya, pembantu rumah tangga, pelayan/waiters, sales promotion girls, perek (wanita tuna susila) merupakan profesi yang identik dengan jenis kelamin perempuan. Adapun manajer, profesor, presiden, dan kedudukan bergengsi lainnya, dianggap lebih pantas dipegang oleh laki-laki, meskipun sudah banyak pula perempuan yang menduduki posisi penting tersebut.

 

III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari analisis data dapat disimpulkan, bahwa fenomena bias gender yang terjadi dalam kehidupan masyarakat termanifestasikan atau tercermin melalui penggunaan bahasa dalam majalah remaja. Penulis (baik laki-laki maupun perempuan) dan pembaca majalah Hai yang umumnya laki-laki serta Kawanku yang umumnya perempuan, memiliki anggapan tertentu menurut apa yang dianggap lazim di masyarakat. Penelitian kualitatif yang menggunakan teori sosiolinguistik ini dapat menjelaskan mengapa remaja laki-laki dan remaja perempuan memilih menggunakan bentuk tertentu yang berbeda, dan mengapa bentuk tertentu dianggap tidak lazim digunakan oleh jenis kelamin tertentu. Bahasa adalah kontruksi budaya, sebaliknya budaya bisa jadi merupakan bentukan bahasa.

Manifestasi bias gender ditemukan dalam segi topikalisasi, leksikon, kesopanan, pengunaan bentuk yang lebih “benar”, steriotipe gender, dan stigmatisasi (anggapan rendah). Seiring perkembangan zaman, ketidakadilan gender pun mulai bergeser sehingga sebenarnya masyarakat penutur bahasa Indonesia mulai mengubah steriotipe dan pemaknaan bahasa yang bias gender tersebut.

 

3.2 Saran

            Untuk penelitian selanjutnya menarik dilakukan kajian perbandingan penggunaan bahasa media dalam periode berbeda, untuk mengetahui bagaimana fenomena ketidaksetaraan gender ini mulai bergeser.

  

DAFTAR PUSTAKA

 

Astuti, Mary, Aisah Indati dan Siti Hariti Sastriyani. 1999. “Bias Gender dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia” dalam Jurnal Gender. Vol. 1 No. 1 Juli 1999. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita UGM.

 

Awuy, Tommy F., 2000. Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme dan Hiburan. Ashadi Siregar, dkk (Ed.). Yogyakarta: LP3Y.

 

Budiman, Kris. 2000. Feminis Laki-Laki dan Wacana Gender. Magelang: IndonesiaTera.

 

Budiwati, Tri Rina. 2003. “Bias Gender dalam Bahasa Indenesia.” Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.

 

Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

 

Fakih, Mansoer. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Cetakan ke-6. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Graddol, David dan Joan Swann. 2003. Gender Voices, Telaah Kritis Relasi Bahasa-Jender. Terjemahan M. Muhith. Cetakan ke-1. Pasuruan: Penerbit Pedati.

 

Harijatiwidjaja, Nantje dan Tri Iryanti. 1995. Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Majalah Remaja (Kasus Majalah Hai). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Juliastuti, Nuraini. 2000. “Majalah Hai dan Boyish Culture” dalam Kunci, edisi ke-8, September 2000. Yogayakarta.

 

Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik sebagai Suatu Pengantar Awal. Jakarta: Gramedia.

 

Ohoiwutun, Paul. 2002. Sosiolinguistik, Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Suntingan Herman Sudrajat. Jakarta: Kesaint Blanc.

 

Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana

 

Sumarsono dan Paina Pratama. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Penerbit SABDA (Lembaga agama, budaya dan perdamaian) bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.

 

Swastika, Alia. 2003. “Potret Anak Muda di Ranah Bahasa: Dari Dunia Preman Hingga Jakarta-Sentrisme.” dalam Jurnal Balairung, edisi 36, tahun XVII. Yogyakarta: Badan Penerbitan Pers Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Balairung.

 

 

[*] Nanik Supriyanti, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, UPT Balai Media dan Reproduksi (LIPI Press), Jl. Gondangdia Lama No. 39, Menteng, Jakarta; Telp. 021-3140228, Fax. 021-3144591, E-mail: nanik_kinan@yahoo.com.


 

1 Responses to “Bias Gender dalam Bahasa Majalah Remaja”

  1. hendar Says:

    Thanks mbak artikelnya menarik, juga sarannya boleh jadi menginspirasi saya untuk meneliti…. ditunggu artikel berikutnya he..he


Tinggalkan komentar